SPASI

Saat itu pun akhirnya tiba…., kami memasuki apa yang senior- senior kami pernah alami, apa yang pernah membuat mereka berputar- putar seperti di pusaran air, apa yang pernah membuat malam- malam gelap menjadi seperti siang, apa yang pernah membuat kepala menjadi penuh sesak dengan aneka nama dan istilah asing, apa yang pernah membuat John Echols dan Oxford Dictionary menjadi seperti kekasih yang tak pernah mau dilepas pergi, saat- saat dimana komputer menjadi seperti DEWA….Kami memasuki saat- saat di mana seluruh perjuangan kami selama bertahun tahun di bangku filsafat dan teologi, seluruh jatuh bangun kami ketika bersepeda diuji kualitasnya melalui apa yang disebut dengan SKRIPSI dan THESIS. Itulah kita…sebuah ‘kualitas’ yang harus diuji secara formal untuk mendapat identitas resmi ‘di atas kertas’ lengkap dengan tanda tangan dan cap jempol dari pihak- pihak yang tertentukan. Kita adalah apa yang kita hasilkan yang tertentukan kualitasnya berdasarkan rentang angka satu sampai sepuluh….(sebegitukah kita???). Selama kita tidak bisa mencapai angka yang menjadi standar untuk sebuah ‘bagus/baik’ kita tidak pernah akan (dianggap) selesai, terdefinisikan, bagus/baik, dsbnya.
Dan saya sedang berada dalam arena itu, arena untuk segera membuktikan diri supaya (menjadi atau dianggap) selesai, terdefinisikan, baik/bagus, dsbnya. Ketika pada suatu saat target itu saya capai, maka akan terjadilah, di atas secarik kertas, yang diberi nama ‘IJAZAH’, akan ditambahkan sebuah ‘tanda’ tepat dibelakang nama saya ; SS. Namun, selama kita masih hidup, tetap saja perjuangan itu tidak pernah akan selesai. Pada sisi yang lain, kualitas kita akan ditentukan oleh sejauh mana kita menampakan diri dalam ruang nilai- nilai yang kita sebut spiritualitas, psikologis, etis/moral, dsbnya. Dan, lagi- lagi, kualitas diri kita masih akan ditentukan lagi oleh struktur nilai- nilai tersebut.
Terlepas dari semua hal tetek bengek di atas, saat- saat ini- saya- dengan beberapa orang teman (marselo, bayu, jack, delis, hery, rispan, edy, jefry, cosmas, rofin, melky, imbon) sedang berjuang mati- matian untuk pembuktian kualitas diri itu (menyusun SKRIPSI dan THESIS), walaupun akhirnya, seluruh perjuangan kami dengan segala suka dukanya akan hanya dilihat dari angka yang akan diberikan dosen penguji, tepat pada saat hasil kerja keras kami tersebut dipertanggungjawabkan dalam sebuah ruangan segi empat, dengan dua orang penguji versus kami sendiri, dua melawan satu.
Pagi- pagi, siang- siang, malam- malam, kami selalu berada di depan komputer, seolah- olah ruang hidup itu menjadi begitu sempit antara kamar dan ruang komputer. Pada suatu saat kami mengetik, pada saat yang lain kami mengoreksi ketikan, pada saat yang lain lagi kami membaca dan menerjemahkan, pada saat yang lain lagi kami berdiskusi.
Dan tiba- tiba, pada sebuah malam, ketika semua orang sudah lelap tertidur, saya sedang mengoreksi hasil ketikan yang saya ketik malam sebelumnya (juga ketika semua telah terlelap), tidak ada yang salah dalam pengetikan, semua huruf tertulis sesuai EYD, nyaris sempurna, cuma kerapkali saya lupa membuat spasi, yakni jarak antara kata demi kata; sebuah ruang kosong satu setengah sentimeter yang tidak boleh diisi dengan huruf atau tanda baca lainnya, yang sebenarnya mudah sekali untuk dilakukan, dengan hanya sekali menekan sebuah tuts pada keyboard. Dan saya kerapkali melupakan pekerjaan yang sangat mudah ini. Saya terlalu terobsesi pada huruf- huruf tanda baca, diksi yang tepat, dan melupakan spasi, yakni sebuah ruang kosong, tanpa huruf dan tanda baca, yang sangat penting untuk memahami sebuah kalimat, sebuah paragraph, dan akhirnya seluruh tulisan. Betapa tidak bermaknanya huruf- huruf yang telah saya ketik dengan susah payah, betapa tidak bermaknanya usaha keras untuk bangun pagi- pagi dan tidur larut malam, hanya karena melupakan sebuah spasi; ruang kosong satu setengah sentimeter itu.
Setiap kalimat membutuhkan kata- kata, setiap kata- kata membutuhkan huruf- huruf. Namun, di atas semuanya itu sebuah spasi akan membuat segalanya menjadi dapat dipahami, sehingga seluruh kalimat sungguh menjadi komunikatif.
Dan saya menemukan sebuah makna dari pengalaman ini; spasi itu seperti jeda sebentar dalam kehidupan, sebuah kesempatan menarik diri dari aktivitas kehidupan, sehingga seluruh aktivitas kita menjadi bermakna dan bernilai. Karena- ternyata- aktifitas melulu (seperti halnya kata- kata tanpa spasi) tidak bermakna apapun, jeda/ spasi adalah sebuah keharusan, ia adalah sebuah kapasitas reflektif. Ia adalah saat yang paling baik untuk membiarkan diri menjadi sebuah ruang kosong yang siap diisi oleh Allah. Ia adalah saat untuk berdoa. Dan saya kerap melupakan hal itu ketika telah dijejali aneka tugas- tugas….saya kerap lupa membuat spasi dalam hidup ini…..
Akhirnya, untuk seluruh pengalaman ini, saya bersyukur kepada Tuhan. Saya berdoa:
SEMOGA SAYA TIDAK TERLENA DENGAN KESIBUKAN- KESIBUKAN SAYA SAAT INI SUPAYA SAYA TIDAK JATUH PADA ‘KESIBUKANISME….’
AMINNN….

Komentar

Postingan Populer