POLITIK MENURUT LAO TZU DAN ARISTOTELES (Sebuah Filsafat Perbandingan)

1. Pengantar
Haruslah diakui bahwa tidak mudah untuk membuat perbandingan antara filsafat barat dan filsafat timur. Peradaban barat mempunyai cita-cita yang rangkap. Peradaban ini ditandai oleh kontroversi-kontroversi mengenai kesempurnaan akal budi dan kehendak, serta mengenai sifat akal budi dan kehendak yang relatif berlawanan atau saling melengkapi. Peradaban timur, meskipun beraneka ragam, cenderung untuk menjunjung tinggi intuisi realitas akhir sebagai maya dan bahwa realitas maya itu dicapai melalui pemadaman keinginan.
Tulisan ini adalah sebuah upaya sederhana untuk membandingkan pemikiran filsafat, yakni filsafat barat dan timur. Penulis membandingkan secara khusus pemikiran barat dan timur tentang politik. Politik yang penulis maksudkan adalah menyangkut tata hidup bersama, yakni sebuah seni mengatur hidup bersama. Pemikiran Barat hanya akan diwakili oleh pemikiran Aristoteles, dan pemikiran Timur akan diwakili oleh Lao Tzu (taoisme).

Supaya tulisan ini menjadi sistematis, tulisan ini akan penulis bagi menjadi beberapa bagian. Pertama, pengantar. Kedua, Teori Politik Lao Tzu (Taoisme). Ketiga, Teori Politik Aristoteles. Keempat, Teori Politik Aristoteles dan Lao Tzu: Sebuah filsafat Perbandingan. Kelima, Kesimpulan dan Penutup.

2. Teori Politik Lao Tzu (Taoisme)
Teori politik Taoisme didasarkan pada ajaran utama tentang Tao. Orang Taios memandang bahwa semua perubahan di alam adalah manifestasi-manifestasi proses dinamis saling mempengaruhi antara oposisi-oposisi kutub Yin dan Yang. Oleh sebab itu, mereka percaya bahwa setiap pasangan yang berlawanan memiliki hubungan polar, dimana masing-masing kutub terkait secara dinamis satu sama lain. Maka, kapanpun kita ingin mencapai apapun, kita mesti memulainya dengan lawannya. Di sisi lain, kapanpun kita ingin mempertahankan apapun, kita harus membiarkan di dalamnya ada lawannya. Inilah jalan hidup orang bijak yang telah mencapai sudut pandang lebih tinggi, suatu perspektif dimana relativitas dan hubungan polar dari semua hal yang berlawanan dapat dipersepsi dengan jelas.
Tindakan-tindakan orang bijak Taois muncul dari kebijakan intuitifnya, secara spontan dan dalam keselarasan dengan lingkungannya. Ia tidak perlu memaksakan dirinya sendiri, atau apapun di sekitarnya, namun sekedar menyesuaikan tindakannya dengan gerakan Tao. Inilah yang disebut Wu-Wei. Wu Wei berarti non-aksi (berbuat tidak berbuat). Arti dari ungkapan ini adalah alam dan segala isinya telah memiliki irama geraknya sendiri-sendiri. Manusia dalam menghadapi alam dan hidup sehari-hari tidak perlu banyak campur tangan, biarkan alam dalam peristiwa berkembang menurut iramanya masing-masing. Manusia jangan memaksakan kehendaknya sendiri dan ingin bertindak, karena dengan demikian merusak irama alam dan hasilnya justru keserakahan, kemarahan dan malapetaka.
Menurut Lao Tzu, negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang manusia bijaksana. Kewajiban penguasa bijaksana adalah adalah membiarkan atau tidak melakukan apapun. Bagi Lao Tzu, kekacauan di dunia muncul bukan karena banyak hal yang belum dikerjakan tetapi karena banyak hal yang dikerjakan. Makin banyak batasan dan larangan yang terdapat di dalam dunia maka makin banyak rakyat yang akan menjadi lebih miskin. Makin banyak senjata tajam yang dimiliki rakyat, maka negara akan makin kacau. Makin banyak terdapat pengrajin ahli yang cerdik maka makin banyak terdapat rekayasa yang busuk. Makin banyak hukum yang ditetapkan, makin banyak pencuri dan penjahat yang akan bermunculan. Maka tindakan seorang penguasa bijaksana yang pertama adalah meniadakan semua itu. Lao Tzu berkata :”campakan kearifan, singkirkan pengetahuan maka rakyat akan memperoleh manfaat seratus kali lipat. Campakan rasa kemanusiaan, singkirkan rasa keadilan, maka rakyat akan menjadi penurut dan memiliki rasa kebersamaan. Campakan keahlian, singkirkan keuntungan, maka pencuri dan perampok akan lenyap. Jangan mengagung-agungkan orang-orang terhormat maka rakyat tidak akan bertengkar lagi. Jangan memandang tinggi benda-benda berharga yang sulit diperoleh, maka pencuri tidak akan ada lagi. Jika rakyat tidak pernah melihat benda-benda yang membangkitkan keinginan, maka pikiran mereka tidak akan rancu” . Itulah sebabnya manusia bijaksana memerintah rakyat dengan mengosongkan pikiran mereka serta mengencangkan syaraf mereka dan senantiasa membuat rakyat tanpa pengetahuan dan tanpa keinginan.
Penguasa akan meniadakan semua hal yang menyebabkan kekacauan di dunia. Setelah itu dia akan memerintah dengan jalan tanpa melakukan perbuatan. Dengan cara tanpa melakukan perbuatan maka ia tidak melakukan apapun, namun segala sesuatunya akan terselesaikan. Tanpa melakukan tindakan apapun dari seorang pemimpin, rakyat sendiri akan berubah. Jika pemimpin suka ketenangan maka rakyat akan menjalani kehidupan dengan sopan. Ketika sang pemimpin tidak mempedulikan apapun rakyat dengan sendirinya akan makmur. Ketika sang pemimpin tidak memiliki keinginan maka rakyat dengan sendirinya akan bersikap sederhana. Jangan melakukan apapun maka tidak ada suatupun yang tidak akan dikerjakan. Tao secara tetap tidak melakukan apapun namun tidak ada sesuatupun yang tidak dikerjakan. Tao adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya segala sesuatu. Tao bukanlah sesuatu maka ia tidak dapat melakukan seperti apa yang dibuat oleh sesuatu. Meskipun demikian, segala sesuatu menjadi ada. Tao membiarkan segala sesuatu itu melakukan apa yang bisa dikerjakan sendiri.
Seorang pemimpin negara harus mengikuti Tao yang tidak melakukan apapun dan hendaknya membiarkan rakyat melakukan apapun yang dapat mereka kerjakan sendiri. Seorang pemimpin negara harus menjadi seperti anak-anak, karena kehidupan anak-anak lebih dekat dengan kehidupan ideal. Anak-anak memiliki pengetahuan terbatas dan sedikit keinginan. Mereka berada tidak jauh dari te yang asli. Keserdehanaan dan keteladanan mereka yang tanpa dosa merupakan karakteristik yang hendaknya sedapat mungkin dipertahankan oleh setiap orang. Manusia bijaksana memperlakukan setiap orang seperti anak-anak. Ia tidak menjadikan mereka memperoleh pencerahan tetapi membuat mereka tetap dalam keadaan tidak berpengetahuan. Keadaan tidak berpengetahuan merupakan terjemahan kata China Yu yang maksudnya tidak tahu menahu dalam arti kesederhanaan serta keadaan tanpa dosa. Pikiran seorang bijaksana adalah pikiran seorang yang tidak berpengetahuan. Dalam taoisme, yu bukanlah suatu kejahatan melainkan suatu kebajikan besar.
Yu sebagai manusia bijaksana merupakan hasil pemupukan jiwa secara sadar. Yu ini merupakan sesuatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan, sesuatu yang melebihi bukan sesuatu yang kurang dari itu . Yu seorang manusia bijaksana merupakan kearifan besar dan bukan yu seorang anak atau orang kebanyakan. Yu seorang anak atau yu kebanyakan merupakan pemberian kodrat, sedangkan yu seorang manusia bijaksana merupakan hasil yang dicapai oleh jiwa.
Dalam Taoisme, alam dan segala isinya telah memiliki irama gerak masing-masing. Semuanya akan berkembang baik kalau dibiarkan mengikuti irama geraknya masing-masing. Oleh sebab itu, seorang pemimpin tidak perlu bertindak maka rakyat akan mengubah sendiri. Orang bijak Taois, tidak berjuang membabi buta untuk kebaikan, namun lebih berupaya untuk mempertahankan keseimbangan dinamis antara yang baik dan yang buruk.

3. Teori Politik Aristoteles
Dalam Aristoteles, teori politik berhubungan dengan teori etika. Politik sangat bersifat etis, menjunjung prinsip-perinsip etis/moral, mengejar nilai-nilai etis/moral, dan membelanya. Pembukaan bukunya “politics” sangat mengandaikan dan berkaitan dengan pembukaan bukunya “Nicomachean Ethics”. Jika dalam buku etikanya, kebaikan adalah tujuan atau keterarahan dari segala aktivitas kehidupan manusia, dalam buku politiknya, polis adalah cetusan paling tinggi dari aktivitas hidup manusia dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan sosialitasnya. Hubungan antara politik dan etika bersifat timbal balik, yaitu etika terarah kepada pembentukan tata kehidupan bersama yang baik dalam politik, dan politik mengandaikan fondasi etis yang benar. Etika dan politik merupakan dua entitas yang bersinergis. Dalam bukunya “Politics”, Aristoteles menulis : “ observation shows us, first, that every city (polis) is a species of association,and,secondly, that all associations come in to being for the sake of some good—for all man do all their acts with a view to achieve something whics is, in their view, a good. It is clear therefore that all associations aim at some good, and that the particular association which is the most sovereign of all, and includes all the rest, will pursue this aim most, and will thus be directed to the most sovereign of all goods.This most sovereign and inclusive association is the city (polis), as it is called, or the political association”. Dalam bukunya “Nicomachean Ethics”, Aristoteles menulis:” every craft and every investigation, and likewise every action and decision, seems to aim at some good; hence the good has been well described as that at which everything aims”.
Dalam dua tulisan di atas terlihat dengan jelas hubungan antara etika dan politik dalam pemikiran Aristoteles. Etika membahas perihal perbuatan manusia, “every craft inverstigation,and decision”, dan politik menekuni perkara tata hidup bersama, “every city, a species of association”. Setiap tindakan manusia maupun tata hidup bersama mengejar kebaikan,”aims at some good”. Pada politik, yang dikejar bukan saja “kebaikan personal” sebagaimana setiap orang yang bertindak mengejar kebaikan, tetapi kebaikan tertinggi yaitu kebaikan bersama. Dalam bahasa politis, ide ini mendapat nama bonum commune. Disebut kebaikan tertinggi, karena kebaikan seperti yang diupayakan dalam politik mengatasi kebaikan-kebaikan personal. Dalam “Nicomachean ethics”, segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas selalu menuju kepada suatu kebaikan (etika). Dalam Politics, persekutuan aktivitas hidup bersama apapun juga lahir dan dibangun dengan tujuan menggapai pada tujuan kebaikan pula. Karena polis merupakan persekutuan puncak hidup bersama, maka tujuannya pastilah untuk mengejar kebaikan paling tinggi atau the most sovereign of all goods. Dengan demikian, politik adalah sistem tata hidup bersama dalam polis tunduk pada dan mengandaikan etika kebaikan sekaligus merupakan puncak kesempurnaan cetusan etika. Etika adalah pendasaran dari politik.
Bagi Aristoteles, manusia adalah zoon politicon, makhluk sosial, makhluk hidup yang membentuk masyarakat. Demi keberadaannya dan demi penyempurnaan dirinya, diperlukan persekutuan dengan orang lain. Untuk itu diperlukan negara. Negara bertujuan untuk memungkinkan hidup dengan baik, seperti halnya dengan segala lembaga yang lain.
Negara memiliki beberapa bentuk. Tidak semua bentuk adalah baik. Bentuk negara yang buruk adalah tirani, yaitu pemerintahan seorang lalim. Selain itu ada bentuk negara oligarkhi, pemerintahan sekelompok kecil orang, dan demokrasi, yaitu pemerintahan seluruh rakyat, kaya, miskin, berpendidikan atau tidak. Negara yang demikian tidak mungkin mencapai tujuannya. Sebaliknya, susunan negara yang tergolong ideal adalah monarki, yaitu pemerintahan oleh seorang raja, aristokrasi, pemerintahan kaum ningrat dan politeia, yaitu pemerintahan banyak orang.
Menurut Arototeles, dalam prakteknya, pemerintahan yang paling baik adalah politeia yang bersifat demokratis-moderat, atau demokrasi dengan undang-undang dasar, sebab hak memilih dan hak dipilih bukan ada pada semua orang, melainkan pada golongan tengah, yang memiliki senjata dan yang telah biasa berperang. Bentuk pemerintahan ini memberi jaminan yang terkuat, bahwa pemerintahan akan bertahan lama dan akan dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang berlebih-lebihan.

4. Teori Politik Aristoteles dan Lao Tzu: Sebuah Filsafat Perbandingan
Dari keseluruhan uraian atas dua pandangan politik dari Aristoteles dan Lao Tzu, kita dapat membuat perbandingan atas beberapa hal. Pertama, dalam Aristoteles politik berkaitan erat dengan etika. Etika mengandaikan politik dan politik mendasarkan dirinya pada etika. Dalam etika tujuan hidup manusia adalah untuk mengejar kebaikan. Politik pun memiliki tujuan yang sama. Dalam politik, yang dikejar bukan saja kebaikan personal tetapi kebaikan bersama. Maka, di dalam politik, kebaikan yang dikejar mengatasi kebaikan personal. Kebaikan ini disebut kebaikan tertinggi yang bertujuan untuk mencapai “bonum commune”.
Dalam Lao Tzu, politik atau tata hidup bersama berhubungan dengan keselarasan antara hal-hal yang berlawanan. Seluruh teori politik dalam Tao Tzu didasarkan pada ajaran utama Tao yang mengatakan bahwa semua perubahan di alam adalah manifestasi-manifestasi proses dinamis saling mempengaruhi antara oposisi-oposisi kutub Yin dan Yang. Maka, dalam hidup bersama tujuan pertama yang dicapai adalah keselarasan antara hal-hal yang berlawanan. Lao Tzu juga berpendapat, untuk mencapai keselarasan tersebut, manusia tidak perlu melakukan apa-apa, karena setiap hal di alam semesta sudah memiliki geraknya sendiri. Jika setiap hal dibiarkan begerak menurut geraknya sendiri, maka akan terciptalah keselarasan. Begitupun dalam kehidupan manusia, jika manusia tidak “diapa-apakan”, maka manusia akan berubah sendiri dan bergerak menuju keselarasan dengan semuanya.
Kedua, untuk mencapai kebaikan tertinggi yang merupakan tujuan uama dalam politik, Aristoteles menunjukan beberapa pilihan tata kelola polis, dalam beberapa macam model pemerintahan. Negara yang baik harus dipimpin oleh seorang yang demokratis dan moderat, atau demokrasi dengan undang-undang dasar. Bentuk pemerintahan ini memberi jaminan yang terkuat, bahwa pemerintahan akan bertahan lama dan akan dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang berlebih-lebihan.
Dalam Lao Tzu, untuk mencapai tujuan tertinggi dari hidup bersama, yakon keselarasan, maka seorang pemimpin tidak boleh melakukan apa-apa. Selain itu, tidak diperlukan juga undang-undang dasar. Semakin banyak aturan akan Makin banyak batasan dan larangan yang terdapat di dalam dunia maka makin banyak rakyat yang akan menjadi lebih miskin. Makin banyak senjata tajam yang dimiliki rakyat, maka negara akan makin kacau. Seorang pemimpin tidak perlu melakukan apa-apa tetapi membiarkan segalanya bergerak menurut iramanya masing-masing. Dengan demikian, kesejahteraan dapat tercapai.
5. Kesimpulan dan Penutup
Setiap tindakan manusia memiliki tujuannya masing-masing. Demikian halnya dalam politik. Aristoteles merumuskan tujuan itu dengan istilah “kebaikan tertinggi”. Dalam upaya untuk mencapai kebaikan tertinggi tersebut maka diperlukan polis dengan segala macam perangkat undang-undang. Dalam Lao Tzu, tujuan tersebut adalah keselarasan antara hal-hal berlawanan. Untuk mencapai itu tidak perlu melakukan apa-apa tetapi membiarkan segalanya bergerak menurut iramanya sendiri. Keselarasan tercapai ketika segalanya bergerak menurut pergerakannya masing-masing.
Upaya untuk membandingkan pemikiran barat dan pemikiran timur bukan merupakan upaya yang mudah. Tulisan sederhana ini merupakan upaya maksimal penulis dalam usaha untuk memperdalam pemahaman penulis akan kazanah pemikiran barat dan timur. Sebagai sebuah usaha, apa yang penulis kerjakan ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu usaha lebih lanjut masih harus terus dilakukan.

Daftar Pustaka:
Hadiwijono, DR. Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Riyanto, DR. Eko Armada, Filsafat Etika Politik: Diskursus Konteks Indonesia, Diktat Kuliah Filsafat Politik, Malang: STFT Widya Sasana, 2007’

Reksosusilo, Dr. S., Diktat Kuliah Filsafat Cina, Malang: STFT Widya Sasana, 2005.
Yu-Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina (terj. John Rinaldi, S.Fil), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Bam, Archie J., Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Yogyakarta: Kanisius,2003, Hlm. 26.

Capra, Fritjof, The Tao Of Physics, Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur, (Terj. Aufiya Ilhamal Hafizh), Yogyakarta: Jalasutra, 2000.

Komentar

Postingan Populer