NEGARA DAN KEBEBASAN BERKESENIAN Menelisik Hubungan Antara Negara dan Kebebasan Berkesenian di Indonesia

  1. Pengantar

Sudah bukan merupakan hal yang asing bagi kita mengalami kenyataan adanya artis atau selebritis yang dilarang tampil untuk mengekspresikan keseniannya karena dinilai terlalu vulgar[2] atau diberi peringatan karena performance nya tidak memberikan tuntunan kepada masyarakat. Kita juga tidak asing dengan adanya kenyataan hasil karya seniman yang dilarang beredar karena isinya dinilai tidak mendidik masyarakat atau bahkan diyakini (jika beredar) akan membodohi masyarakat. Inul Daratista, kelompok musik SLANK, aksi foto ‘telanjang’ Anjasmara, Film “2012”, Tukul Arwana, dsb., adalah beberapa contoh artis dan hasil karya seniman yang pernah mendapat masalah berhubungan dengan kebebasan mereka dalam mengungkapkan karya seninya.

Kita juga melihat kenyataan banyak artis yang marah karena pembajakan atas karya seni yang mereka hasilkan. Pemerintah dianggap kurang menghargai hasil karya para seniman dengan mengabaikan upaya-upaya untuk penegakan hukum atau peraturan tentang pembajakan. Di pinggir-pinggir jalan kita dapat dengan mudah melihat kaset-kaset atau disc film-film dan lagu-lagu bajakan dijual oleh para pedagang dengan harga terjangkau meskipun kualitasnya dapat kita pertanyakan.

Apa yang penulis paparkan di atas adalah sebagian kecil dari wajah hitam kesenian Indonesia. Persoalan besar seperti penolakan atas UU pornografi dan pornoaksi oleh beberapa daerah di Indonesia sebenarnya juga bersinggungan dengan kekebasan berkesenian, yang dalam hal ini adalah kesenian-kesenian lokal (kesenian daerah).

Contoh-contoh di atas (dan tentu masih banyak contoh-contoh yang lain), kiranya sudah cukup bagi kita untuk sependapat dengan penulis bahwa tentang seni dan kebebasan pengungkapannya masih merupakan salah satu perkara yang rumit di negara kita.

Tulisan ini adalah sebuah upaya untuk menelisik sejauh mana seni dan pengungkapannya diakui, dihargai, dan diberi atmosphere yang mendukung untuk perkembangannya oleh negara. Dengan kata lain, tulisan ini adalah sebuah upaya untuk menelisik hubungan antara negara dan kebebasan berkesenian.

Agar tulisan ini sistematis, maka penulis akan membaginya menjadi beberapa bagian. Pertama, pengantar. Kedua, pengertian seni. Ketiga, deskripsi kasus dan tanggapannya. Keempat, Produk Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan kebebasan berkesenian. Kelima, elaborasi kritis. Keenam, kesimpulan dan saran.

  1. Pengertian Seni

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seni merupakan keahlian membuat karya bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb.), spt tari, lukis ukir. Seni juga merupakan kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa). (2) Orang yang berkesanggupan luar biasa[3].

Dalam bahasa Latin ars, artis (keterampilan) dan bahasa Inggris art, seni memiliki arti perbuatan apapun yang dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu yang mengacu pada apa yang indah.[4]

Beberapa filsuf juga memberi pengertian tentang seni. Plato mengartikan seni sebagai tiruan atas tiruan. Aristoteles melihat seni sebagai salah satu dari tiga cabang pengetahuan. Seni merupakan cabang pengetahuan yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang relevan dengan penghasilan objek-objek yang indah dan berguna. Thomas Aguinas memberi definisi seni sebagai rasio yang benar dalam membuat barang-barang. Lessing berependapat bahwa setiap seni mempunyai prinsip pengaturannya sendiri. Hegel membedakan antara tiga macam seni: simbolik, klasik, dan romantik. Schopenhauer memandang seni sebagai kesenian yang tertinggi.[5]

Dalam filsafat seni ada dua pembagian seni yang cukup dominan, yakni seni murni dan seni untuk seni. Seni murni adalah seni yang berfungsi pokok untuk menghasilkan pengalaman estetis tentang suatu keindahan tanpa memperhatikan apa manfaat atau kegunaan ekonomis atau praktis yang mungkin dihasilkannya. Seni ini berbeda dengan seni mekanis atau seni bermanfaat. Seni mekanis menyangkut produk-produk yang mempunyai kegunaan tertentu (seperti kursi, mobil, rumah,payung) yang dapat dibuat dengan tetap memperhatikan sifat-sifat estetis namun terutama ditujukan demi fungsi yang tidak estetis.[6]

Seni berikutnya adalah seni untuk seni, yakni sebuah prinsip estetis yang menyatakan bahwa seni memiliki tujuan pada dirinya sendiri dan sifa mutlak. Prinsip ini bertumpu pada pemisahan seni dan kehidupan masyarakat. Prinsip ini tersebar dalam abad ke 19 dan abad ke 20. Tujuan seni adalah mencari kepuasan estetis murni. Prinsip ini ingin menentang realisme, yang dianut oleh kaum estetikawan pada saat itu. Prinsip ini menolak makna kognitif, ideologis dan edukatif dari seni, juga tidak mau tergantung pada tuntutan-tuntutan praktis dari suatu zaman. Semua ini menimbulkan kesan dan klaim bahwa seniman bebas dari masyarakat dan tidak memikul tanggung jawab terhadap bangsa; katakanlah semacam kecenderungan pada individualisme dan subjektivisme ekstrem.[7]

  1. Deskripsi Persoalan: Contoh Kasus[8]

Tahun 2005, sebuah kehebohan besar terjadi di Indonesia, artis terkenal Anjasmara dan Isabel Yahya rela di foto telanjang. Menurut pengakuan keduanya, pengambilan gambar tersebut semata-mata untuk kepentingan seni. Foto-foto tersebut terpampang pada pameran “CP Bianalle 2005”, di Museum Bank Indonesia Jakarta kota. Foto-foto ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak baik yang pro maupun yang kontra. Pihak yang kontra berpendapat bahwa foto-foto tersebut merupakan produk yang tidak santun. Menurut pihak yang kontra, karya seni seharusnya memenuhi unsur kepatutan dan kesantunan. Kebebasan berekspresi di negara ini tidak berarti bahwa segala hal dapat dipamerkan kepada masyarakat umum. Para seniman tidak boleh memaksakan nilai-nilai liberal kepada masyarakat secara arogan. FPI juga tidak tiggal diam melihat kasus ini. Menurut FPI "Anjasmara di foto telanjang bersama model Isabel Yahya dengan berlatarbelakang kisah nabi Adam dan Hawa di Surga. Itu sudah penodaan terhadap Nabi Adam”

Para penentang foto telanjang Anjasmara dan Isabel Yahya, umumnya mendasarkan pikirannya pada alguran dan fatwa MUI tentang pornografi dan pornoaksi. Dalam fatwa-nya, MUI menegaskan beberapa poin penting berkaitan dengan hal tersebut. Diantaranya, MUI memutuskan, Pertama, bahwa menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan; baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat mengakibatkan nafsu birahi adalah haram. Kedua, membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram. Ketiga, melakukan penggambilan gambar sebagaimana dimaksud pada langkah 2 adalah haram. Keempat, melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di hadapan orang, melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram. Kelima, memperbanyak, mengedarkan, menjual, maupun membeli dan melihat atau memperhatikan gambar orang, baik cetak atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual adalah haram; Keenam, berbuat intim atau berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan sejenis lainnya yang mendekati dan atau mendorong melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, adalah haram; Ketujuh, memperlihatkan aurat yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi
laki-laki serta seluruh tubuh wanita kecuali muka, telapak tangan dan telapak kaki adalah haram, kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar’i; Kedelapan, memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram.

Dalam sebuah wawancara dengan Anjasmara mengenai pose telanjang yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu “pure art”. Pihak yang pro berpendapat bahwa Kalangan seniman yang berpikiran sekuler-liberal, seperti Anjasmara, Darwis Triadi, dan sebagainya, itu bisa dimaklumi. Mereka tidak mengatasnamakan kalangan Islam tetapi berbicara dari kalangan seniman, yang mencoba memisahkan antara seni dan agama. Seni adalah seni yang punya nilai sendiri, dan agama adalah agama, yang harus tahu batas-batasnya. Jika seni dimasuki agama, maka akan hancurlah kesenian. Itulah logika yang dikembangkan dalam seni sekuler. Ketika kasus Inul bergulir kencang, seorang aktivis Islam Liberal menulis epilog dalam buku “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”
Kasus foto bugil Anjasmara ini kembali mengangkat isu laten dalam diskursus “nilai” dalam seni, apakah kesenian termasuk bidang yang bebas nilai, atau tidak. Kasus seperti ini senantiasa terulang dan tidak terselesaikan, mengingat sikap negara Indonesia sendiri yang berada “serba tidak jelas” dalam masalah nilai. Nilai apa yang digunakan untuk menilai salah dan tidaknya tindakan Anjas? Ketika menampilkan foto-foto karyanya yang terdiri atas sejumlah wanita telanjang, Darwis Triadi juga beralasan, itu semata-mata suatu seni. Para artis lain yang pernah terkena kasus semacam ini juga berpendapat sama: seni adalah seni, tidak boleh dimasuki nilai-nilai agama.

Haruslah diakui, persoalan menyangkut kebebasan berkesenian dewasa ini tidak hanya berkaitan erat dengan norma agama tetapi juga berkaitan dengan hal-hal lain. Contoh yang kita pakai pada tulisan ini adalah menyangkut hubungan antara agama dan kebebasan berkesenian. Dalam kasus-kasus yang lain, kita juga menemukan konflik antar seniman dan pejabat/penguasa (misalnya kasus SLANK, Iwan Fals, Franky sahilatua), konflik antara seniman dengan nilai-nilai kebudayaan lokal. Konflik yang terakhir ini berhubungan dengan konflik ide antara para seniman dan para pemegang budaya tradisional, yakni dalam batas-batas mana seni kontemporer dapat memanfaatkan seni-seni tradisional. Konflik lain yang kita temukan adalah menyangkut maraknya pembajakan. Hal ini tentu saja merugikan para seniman karena sumber penghidupan mereka berasal dari karya seni yang mereka hasilkan.

Namun, yang seringkali mencuat ke pentas publik adalah hubungan antara kebebasan seni dan nilai. Pertanyaannya adalah apakah seni itu bebas nilai atau tidak?

4. Produk Undang-Undang Dasar 1945 Yang Berkaitan Dengan Kebebasan Berkesenian.

Dari deskripsi kasus yang sudah penulis paparkan di atas, nyata sekali terlihat dua pandangan yang berbeda terhadap kebebasan berkesenian (berekspresi). Cara pandang yang berbeda tentu saja membuat penilaian atas kebebasan berkesenian menjadi bermacam-macam. Dari deskripsi masalah yang telah dipaparkan, juga terlihat problematika nilai dalam seni. Apakah seni itu bebas nilai atau tidak? Jika seni itu bebas nilai, maka adalah tidak relevan segala macam penolakan terhadap karya seni. Tapi, jika seni tidak bebas nilai, pertanyaannya adalah otoritas apa yang berhak memberikan penilaian baik, buruk, benar, dan salahnya sebuah karya seni? Dalam konteks negara Indonesia otoritas apa saja yang berhak membuat regulasi dalam hal kebebasan berkesenian?

Karena berbicara mengenai konteks negara, maka menjadi sangat jelas bahwa apapun yang mengatur kehidupan bernegara didasarkan sepenuhnya pada landasan idiil dan landasan konstitusional negara bersangkutan. Di Indonesia landasan idiil dan landasan konstitusianal kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Seluruh produk hukum dan pengaturan mengenai tata kelola hidup bernegara dalam segala macam aspeknya harus di dasarkan pada Pancasila dan undang-undang Dasar 1945.

Jika kita berbicara mengenai kekebasan, kita memasuki wilayah hak asasi manusia. Maka, produk undang-undang yang ditelaah adalah undang-undang yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945, tentang hak asasi manusia dibahas secara khusus pada bab XA. Penulis tidak akan membahas seluruh bab ini tetapi beberapa pasal yang menyentuh langsung perihal kebebasan dalam berekspresi, terutama pasal yang menyebut secara eksplisit tentang seni dan budaya.

Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28c ayat pertama dikatakan: “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan hidup manusia.”[9] Pada pasal 28e ayat kedua dikatakan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. [10]

5. Elaborasi Kritis

Tentu saja dua produk Undang-Undang yang telah dipaparkan di atas masih perlu penjabaran-penjabarannya. Ada beberapa pertanyaan kritis yang dapat diajukan yang semestinya terjawab dalam penjabarannya[11]. Pada pasal 28c, pertanyaan kritis yang dapat diajukan terutama mengenai seni dan budaya adalah bagaimana hak untuk pengembangan diri dengan memanfaatkan seni dan budaya diatur? Bagaimana pengaturan itu sampai pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia? Pada pasal 28e dapat pula kita ajukan pertanyaan kritis, sejauh mana kebebasan untuk menyatakan pikiran dan sikap itu diatur? Secara khusus berkaitan dengan kebebasan dalam berkesenian, bagaimana kesenian sebagai produk pikiran, rasio, dan akal, diatur kebebasannya? Dalam tata hidup bersama, kebebasan yang tidak diatur dengan baik dapat menjadi sesuatu yang membahayakan. Kasus Anjasmara dan kasus-kasus lainnya menjadi contoh yang sangat jelas untuk hal tersebut.

Dalam kalimat pasal 28c dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan tujuan untuk peningkatan kualitas dirinya dan kesejahteraan hidup manusia. Secara eksplisit juga dikatakan bahwa seni merupakan salah satu sarana untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dasar tersebut. Dari rumusan undang-undang ini kita dapat dengan mudah memahami bahwa seni merupakan sarana untuk peningkatan kualitas diri pribadi dan kesejahteran hidup manusia. Maka, seni selalu berorientasi pada hidup manusia. Dengan demikian, seni tidak pernah merupakan seni untuk dirinya sendiri atau seni murni tetapi produk akal yang memberi kontribusi kepada kehidupan manusia. Kontribusi yang dimaksudkan di sini tentu menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, menurut pasal ini seni tidak bebas nilai, sebab seluruh upaya manusia untuk mencapai kualitas hidup yang semakin tinggi adalah upaya untuk menjadi semakin baik dalam keseluruhan aspek dirinya. Maka, seni selalu berhubungan dengan perkara apakah ia baik untuk dapat membantu manusia mencapai kualitas diri yang semakin meningkat[12].

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seni dengan demikian mengambil bagian dalam upaya mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah: Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia. Kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ketiga, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[13]

Dalam upaya untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maka diperlukan regulasi terhadap aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga aspek-aspek ini sungguh-sungguh memberi kontribusi bagi pencapaian tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Regulasi berkaitan dengan norma-norma tentang yang baik dan yang buruk, maka dibuatlah undang-undang dan peraturan pemerintah.

Tidak semua hal yang berkaitan dengan seni diatur dalam undang-undang, kecuali bahwa setiap orang diberi kebebasan untuk mengungkapkan pikirannya. Tentu saja seni termasuk di dalamnya. Undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur atau berbicara mengenai seni selalu berkaitan dengan seni yang ditampilkan ke hadapan publik dan bukan seni yang dibuat untuk kepentingan tertutup bagi diri pribadi. Misalnya dalam kasus yang menimpa artis Anjasmara. Bila suatu karya seni diungkapkan dengan foto-foto tanpa busana hanya untuk koleksi pribadi atau disimpan di kamar tidur, itu menjadi urusan pribadi yang bersangkutan, tetapi ketika itu dipertontonkan di muka umum, apalagi diliput media massa secara bebas sehingga bisa menjangkau khalayak sangat luas, masalahnya menjadi lain.

Di dalam peraturan pemerintah yang membahas mengenai seni, seperti dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur boleh tidaknya sebuah hasil karya seni dipertontonkan ke hadapan publik. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 tahun 2007 tentang standar program siaran, pada bab 3 pasal 6 mengatur bahwa standar program siaran menentukan bahwa standar isi siaran yang berkaitan dengan penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan. Bab IV yang mengatur tentang penghormatan pada suku, agama ras dan antargolongan, pada pasal 7 menegaskan bahwa lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan isi siaran yang merendahkan suku, agama, ras dan antargolongan[14].

Dengan demikian, menjadi masuk akal bagi kita melihat peran lembaga-lembaga/institusi keagamaan yang bereaksi terhadap produk-produk karya seni yang menurut mereka tidak sesuai dengan norma agama. Selain itu, peraturan-peraturan ini membuat kita paham bahwa bukan hanya lembaga keagamaan yang memiliki otoritas untuk menilai sebuah karya seni sebagai baik atau buruk (pantas atau tidak pantas untuk dipublikasikan) tetapi juga norma-norma budaya yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat dan bahkan masyarakat sendiri pun dapat secara sosial memberikan penilaian tentang baik atau buruknya sebuah karya seni untuk kehidupan.

Dalam kalimat pasal 28e pada ayat kedua dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Menurut definisi seni yang sudah dikemukan pada bagian awal tulisan ini, seni merupakan produk akal budi, rasio, atau pikiran manusia. Dengan demikian, pasal 28e menjamin kebebasan pengungkapan seni. Tentu saja kebebasan pengungkapan seni yang dimaksud di sini kebebasan yang membawa kepada peningkatan kualitas diri dan juga membawa kepada kesejateraan manusia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kebebasan itu tidak dapat tidak terarah pada pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang dasar 1945. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya kebebasan ini berada juga di bawah pengawasan berbagai elemen masyarakat (agama, suku, ras, antar golongan).

Namun, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah-lah yang paling berhak mengatur sampai batas-batas mana elemen-elemen masyarakat ini berpartisipasi sebagai pengawas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, segala macam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat terhadap kebebasan pribadi dalam mengungkapkan dirinya, secara khusus para seniman mengungkapkan karya seninya, harus selalu sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Penilaian yang bersifat legal atas sebuah karya seni terutama menyangkut baik atau buruknya dan batas-batas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat selalu berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan negara. Penentuan salah atau benar selalu berdasarkan proses hukum, yakni proses pengadilan.

Beginilah idealnya hubungan antara kebebasan berkesenian dan negara. Namun, rupanya ideal ini tidak begitu saja dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Fakta membuktikan bahwa dominasi elemen-elemen tertentu dalam masyarakat untuk memberi penilaian dan bahkan mengeksekusi sebuah tindakan ‘hukuman’ kepada seniman masih sangat kuat dan bahkan tampak lebih kuat dari otoritas yang secara legal memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan mengeksekusi sebuah tindakan hukuman. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah tindakan Rhoma Irama yang memvonis gerakan “ngebor” artis dangdut Inul sebagai “pengungkapan seni yang salah/buruk” dan kemudian melarang Inul menyanyikan lagu-lagu ciptaannya. Hal ini terjadi karena Undang-undang kita belum memberikan definisi yang jelas tentang seni. Contoh lain yang juga menjadi sangat jelas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah kerancuan hubungan antara norma agama dan kebudayaan lokal. Di satu pihak, sebagian besar komponen masyarakat Islam mendukung UU pornografi dan pornoaksi yang konon didasarkan pada ajaran alquran, yang kemudian diupayakan untuk menjadi Undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi, dipihak lain, tidak sedikit kelompok masyarakat dan bahkan pemerintah daerah menolak Undang-undang ini karena tidak mencerminkan penghargaan seni budaya bangsa yang beragam. Contoh lain lagi yang dapat kita temukan adalah lemahnya upaya pemerintah menegakan undang-undang tentang hak cipta dan pembajakan.

6. Kesimpulan dan Saran

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimanapun, segala tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara diatur sepenuhnya oleh negara melalui produk perundang-undangannya. Demikian halnya di Indonesia.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segenap aspek kehidupan bersinergi dan terarah kepada satu tujuan yakni tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara tertulis dengan sangat jelas dalam naskah pembukaan undang-undang dasar 1945.

Seni adalah salah satu aspek yang menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan karena itu menjadi juga bagian dari bangsa dan Negara. Maka, segala macam upaya untuk mengembangkan seni atau segala macam cara pengungkapan seni selalu harus terarah pada pencapaian tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, diperlukanlah peraturan atau undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang ini menjadi otoritas yang berhak menilai baik buruknya sebuah karya seni untuk peningkatan kualitas manusia. Demikianlah idealnya hubungan kebebasan berkesenian dan negara.

Namun, dalam kenyataan, ideal ini tidak serta merta dapat diterapkan. Fakta membuktikan bahwa di Indonesia, kita mengalami banyak persoalan menyangkut hubungan antara kebebasan berkesenian dan negara. Dari uraian sebelumnya telah diperlihatkan secara jelas, banyaknya persoalan yang menyebabkan terjadinya carut marut hubungan antara kebebasan berkesenian dan negara.

Oleh sebab itu, beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencapai ideal hubungan antara seni dan negara:

· Penegakan hukum, terutama hukum yang berkaitan dengan kebebasan berkesenian.

· Tindakan tegas bagi elemen-elemen masyarakat yang melakukan pengawasan terhadap karya-karya seni tetapi dengan mengacaukan tatanan kehidupan bersama.

· Merevisi undang-undang yang rancu terutama yang berhubungan dengan seni, menyangkut definisi seni, hubungan seni budaya daerah/lokal dan norma agama, dan aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

· Penegakan undang-undang anti pembajakan dan hak cipta.

Tentu saja masyarakat tetap diharapkan memberikan kontrol terhadap pengungkapan karya seni, dan kontrol yang dilakukan harus selalu sesuai dengan undang-undang negara Indonesia. Seniman sendiri harus menyadari bahwa seluruh produk kesenian yang mereka hasilkan adalah upaya untuk mencapai kualitas diri yang semakin meningkat dan kesejahteraan manusia. Maka, para seniman tidak boleh jatuh pada paham seni sekedar untuk seni, yakni sebuah prinsip estetis yang menyatakan bahwa seni memiliki tujuan pada dirinya sendiri dan sifat mutlak. Seni tidak boleh terpisah dari kehidupan masyarakat. Tujuan seni tidaklah sekedar untuk mencari kepuasaan estetis murni, lalu berada di luar realitas. Seni atau hasil karya seni haruslah memiliki makna kognitif, ideologis dan edukatif , seni harus mempertimbangkan pada tuntutan-tuntutan praktis dari suatu zaman. Dengan demikian, seniman juga memikul tanggung jawab terhadap bangsa; seniman harus keluar dari kecenderungan pada individualisme dan subjektivisme ekstrem.

Daftar Pustaka:

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka,1988.

Bagus, DR. Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 tahun 2007 tentang standar program siaran, http//www.kpi.go.id, diakses di Joyo Grand 13 Desember 2009.

Husaini, Adian, Catatan Akhir Pekan (CAP), dalam http//www.hidayatullah.com/index.php, diakses 13 Desember 2009.

Alrasid, Harun, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2004.


[1] Kasus foto telanjang yang menimpa Anjasmara yang penulis beberkan dalam tulisan ini bukan terutama menjadi fokus pembahasan yang mau ditelaah. Kasus ini hanyalah sebuah contoh dari carut marutnya hubungan antara seni dan kehidupan berbangsa yang seringkali dianggap tidak jelas diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah. Maka, pembahasan penulis akan lebih luas dari sekedar analisis atas kasus yang menimpa Anjasmara.

[2] Vulgar yang penulis maksudkan berkaitan dengan mempertontonkan aurat.

[3] Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta:Balai Pustaka,1988, hlm. 816.

[4] DR. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 987.

[5] Ibid., hlm. 988

[6] Ibid., hlm.990.

[7] Ibid.,

[8] Bdk. Adian Husaini, Catatan Akhir Pekan (CAP,) http//www.hidayatullah.com/index.php, diakses 13 Desember 2009.

[9] Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2004, hlm.105.

[10] Ibid., hlm. 106.

[11] Penulis tidak akan menganalisis semua produk-produk hukum yang merupakan penjabaran dari dua pasal ini tetapi menganalisis secara khusus dua pasal ini lalu dilihat secara sepintas beberapa contoh penjabarannya.

[12] Pasal ini juga memperlihatkan secara jelas bahwa seni juga merupakan salah sarana yang dipakai setiap orang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pemenuhan kebutuhan hidup seniman bersumber dari penjualan karya seni yag mereka hasilkan. Inilah yang menyebabkan mengapa para seniman penuh dengan antusiasme memperjuangkan penegakan undang-undang anti pembajakan.

[13] Harun Alrasid, Op.Cit., hlm.1.

[14] Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03 tahun 2007 tentang standar program siaran http//www.kpi.go.id, diakses di Joyo Grand 13 Desember 2009.


Komentar

Postingan Populer