John Hick

1. Pengantar
Berteologi secara kontekstual bukanlah suatu pilihan yang bersifat fakultatif. Kontekstualisasi merupakan bagian dari hakekat terdalam teologi itu sendiri. Dalam upaya kontekstualisasi teologi, telah banyak teolog yang berusaha sedapat mungkin untuk membuat nilai-nilai iman kristiani menjadi relevan untuk setiap zaman dan setiap ragam budaya.
Ketika konteks memperlihatkan sebuah kenyataan pluralisme dalam kehidupan manusia, misalnya pluralisme dalam agama dan aneka keyakinan besar di dunia, teologi pun berusaha menanggapinya dengan membangun sebuah teologi tentang pluralisme. John Hick adalah salah satu teolog yang terkenal karena membangun teologi yang disebutnya teologi pluralisme.
Tulisan singkat ini akan menguraikan secara khusus konsep teologi pluralisme dari John Hick. Agar tulisan ini sistematis, maka penulis akan membaginya menjadi beberapa bagian. Pertama, pengantar. Kedua, Tentang John Hick. Ketiga, Pemikiran John Hick tentang. Keempat, Catatan Kritis. Kelima, Penutup.

2. Tentang John Hick
John Hick dikenal sebagai filosof perbandingan agama sekaligus teolog. Ia belajar filsafat di Universitas Oxford di saat Universitas Oxford berada di masa kegemilangannya.
Di Universitas Birmingham, ia mengajar di beberapa fakultas. Kenyataan keberagaman agama dan budaya di Birmingham sangat mempengaruhi pemikiran John Hick. Konteks keberagaman inilah yang kemudian membentuk pemikiran John Hick yang disebutnya “hipotesis pluralistik”, bahwa keyakinan-keyakinan besar yang ada di dunia menunjukan pola-pola pengalaman yang berbeda.



3. Pemikiran John Hick
John Hick diklasifikasikan di antara para realis kritis. Dia mendukung penuh elemen-elemen konseptual dan interpretatif dari pengalaman. Menurut Hick, kesadaran akan Tuhan bukanlah sebuah kepercayaan pada proposisi tentang sesuatu yang tidak hadir tetapi merupakan persepsi akan sesuatu yang hadir di hadapan kita (pengetahuan oleh pengenalan).
Dalam artikelnya, yang dipublikasikan tahun 1969 yang berjudul: ”Religius faith as Eperiencing-As”, Hick mengritik tradisi dominan dari teologi kita yang cenderung memperlakukan iman sebagai kepercayaan, sebagai proposisi. Padahal, literatur-literatur religius, banyak diisi dengan pengalaman-pengalaman manusia dan perjumpaan-perjumpaan dengan yang ilahi. Dalam tradisi teologi yang dominan, iman pertama-tama dipahami sebagai pembenaran proposisi-proposisi teologis, bukan sebagai tanggapan atas tindakan penyelamatan Allah.
Refleksi Hick atas hal ini diinspirasi oleh pemikiran Witgenstein dalam “Witgenstein’s Philosophical Investigations” tentang seeing-as. Bagi Witgenstain, seeing-as bukanlah apa yang tampak secara terang benderang di dalam retina kita akan suatu objek. Seperti gambar puzzle yang dipelajari oleh para pikolog, sebuah gambar yang sama dapat terlihat sebagai seekor bebek, atau seekor kelinci. Hick berbicara tentang seeing-as ketika apa yang secara objektif dapat dipersepsi dalam dua atau lebih cara, seperti mendapatkan dua atau lebih makna.
Hick memperluas pandangannya tentang seeing-as dalam cara memahami pengalaman. Experiencing-as merupakan produk akhir dari kesadaran dimana segala jenis yang relevan dari pengalaman bekerjasama. John Hick mengeksplorasi implikasi dari konsep ini pada dua cara yang kontras dimana beberapa orang mengalami hidupnya, dan sejarah manusia, sebagai peristiwa-peristiwa natural yang murni, dan sebagai mediasi dari kehadiran dan aktivitas Allah. Terdapat sebuah pemahaman di sini dimana seorang beragama dan seorang ateis mendiami dunia yang sama, tetapi mengalaminya secara berbeda. John Hick tidak percaya jika pengetahuan religius hanya bersifat subjektif. Semua pengalaman kesadaran, merupakan “experiencing-As”.
Dalam hidup sehari-hari kita mengalami hal tersebut ketika kita berbicara mengenai pengakuan dan pengidentifikasian objek-objek. Pengakuan atau pengidentifikasian adalah mengalami sesuatu menurut syarat-syarat sebuah konsep. Dan konsep-konsep kita merupakan produk sosial yang berfungsi di dalam budaya-budaya partikular dan lingkungan linguistik tertentu.
Dalam pandangan Hick, segala pengalaman kesadaran, mengandung pengakuan yang melampaui apa yang sekedar terberi pada level makna atau arti, tidak terberi begitu saja ke dalam pemahaman. Oleh karena itu, pengalaman sekular biasa, dipahami secara bersamaan sebagai pengalaman religius. Mengalami kehadiran Allah merupakan sebuah kesadaran dalam pengalaman kita, sebagai keseluruhan yang signifikan yang mentransedensi apa yang sekedar tampak di dalam pikiran kita melalui retina.
Tindakan ilahi merupakan sebuah peristiwa bukan sebuah objek fisik. Dan pengalaman akan Allah seperti dikembangkan dalam Kitab suci lebih luas dari sekedar kesadaran akan peristiwa-peristiwa isolatif sebagai tindakan Allah. Peristiwa-peristiwa ini hanyalah sekedar penekanan-penekanan secara intens pada fokus dalam kesadaran yang lebih luas akan kehadiran Allah. Di sini, pemahaman akan kehadiran Allah berbeda dari kesadaran akan objek-objek di dunia.
Menurut Hick, experience-as mengambil tempat pada level-level yang berbeda dari kesadaran dan setiap level memiliki derajat yang berbeda dalam kebebasan kognitif. Sebagai contoh, kita mungkin mengalami sebuah objek yang bergerak di angkasa sebagai burung, pada level yang lebih tinggi sebagai elang, dan sebagai elang yang sedang mencari mangsanya.
Level makna religius merupakan sebuah level makna yang mengandung dan mengangkat level moral. Ini bukan berarti bahwa semua kesadaran religius dilapiskan pada kesadaran moral. Seseorang mungkin menyadari bahwa moment kehadiran Allah adalah pada saat-saat merasa kesunyian dan kesepian, atau bahkan dalam dunia mistik dan mungkin secara relatif tidak bergantung pada hal eksternal. Level makna religius juga memiliki derajat yang tinggi dalam kebebasan kognitif. Dalam level fisik dan natural, kebebasan kognitif berada pada level minimum, karena kita dipaksa untuk menginterpretasikan objek-objek fisik dalam cara-cara yang standar. Pada level etis, kebebasan kognitif memiliki level yang lebih tinggi lagi, oleh karena kita dianjurkan untuk menggunakan terminologi-terminologi sebagai pandangan-pandangan dan penilaian moral. Level maksimal dari kebebasan kognitif adalah dihubungkan dengan realitas ultim seperti yang dibicarakan agama-agama. Iman religius merupakan level interpretatif di dalam pengalaman religius dan kebebasan kognitif yang lebih besar dari iman religius dihubungkan dengan klaim yang lebih besar yakni realitas yang menciptakan kita. Kebebasan untuk beriman menyanggupkan kita untuk masuk dalam situasi yang tidak dipaksa. Meskipun kesadaran akan realitas transenden termediasi dan terbatas, ia melindungi otonomi dan kebebasan kita yang terbatas.
Menurut Hick, keyakinan-keyaknan religius besar, membentuk cara-cara yang berbeda dalam pengalaman, mengandung dan hidup dengan realitas ilahi yang mentransendensi setiap vision kita yang berbeda tentang Dia. Semua agama berhubungan dengan sesuatu yang mengatasi dan menjadi dasar yang memberi makna dan arti hidup kita. Agama yang berbeda meunjukan pula cara yang berbeda dalam memberi nama pada realitas ultim itu: Allah, yang absolut, tao, atau Roh. Objek-objek keyakinan religius dipahami berada/eksis tidak bergantung pada pengalaman kita akan meraka. Kita hidup oleh iman dan bukan oleh penglihatan. Dengan demikian, adalah rasional untuk percaya kepada realitas Allah. Kepercayaan religius dibenarkan terutama dalam jalan yang sama seperti kepercayaan-kepercayaan kita tentang apa yang ada dan bagaimana sesuatu itu berada pada keseluruhan situasi kita: yakni, melalui dampak situasi kepada kita, dan kesadaran yang merupakan pengalaman kita akannya. Ada dua kondisi yang harus dipenuhi. Pertama, kita memiliki kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan atau asumsi yang rasional akannya yang memungkinkan entitas itu eksis. Kedua, hal tersebut tampak terberi dalam pengalaman kita sebagai yang diberikan dalam cara yang powerful, terus menerus dan intrusif, yang menuntut kepercayaan atas realitasnya. Peran dari teologi natural dalam hal ini bukan untuk membuktikan eksistensi Tuhan atau bahkan menunjukan kemungkinannya. Tetapi, membangun kemungkinan bagi eksistensi ilahi dan kepentingannya. Rasionalitas harus dapat menunjukan Allah sebagai kemungkinan yang penting, dan bahwa pengalaman religius teistik harus diterima secara serius.
Bagi Hick, pengalaman religius menyediakan sebuah dasar utama yang bagus bagi kepercayaan religius, dan bahwa adalah dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat bagi setiap religius untuk mempercayai pengalamannya sendiri dan aliran yang lebih luas dari pengalaman religius dimana pengalamannya sendiri menjadi bagian di dalamnya. Para penganut religius dipahami untuk membuat sebuah pernyataan yang asli tentang realitas yang jika benar, akan mengembangkan dan mengoreksi pengalaman yang akan datang. Konfirmasi ekperensial dari kehadiran yang ilahi terjadi dalam jejak perbedaan bahwa Tuhan membuat peziarahan manusia dari awal hingga akhir secara ilahi. Bagi Hick, secara esensial argumen yang sama dapat pula dikembangkan dalam iman religius yang non-teistik. Orang-orang yang mengatakan bahwa pengalaman advaitik seseorang dengan Brahman dan juga para teis tradisional diberi nama untuk memberi dasar pada sistem kepercayaan dalam aliran pengalaman religius mereka.
Apakah ini berarti bahwa pendekatan Hick atas justifikasi kepercayaan religius meruntuhkan dirinya sendiri karena dia memberikan justifikasi yang sama bagi proposisi-proposi kontradiktif yang saling menguntungkan? Untuk menjawab kritik ini, Hick menggunakan pemikiran Kant tentang distingsi antara sesuatu di dalam dirinya sendiri dan sesuatu sebagai yang dipersepsi. Dalam pembahasan mengenai religius, kita harus membedakan realitas di dalam dirinya sendiri, dan realitas yang dialami dan dipikirkan dalam komunitas-komunitas umat manusia yang berbeda. Sebagai contoh, pendasaran iman bisa dikatakan tidak terlukiskan, atau mengatasi kategori manusia. Kadang-kadang kita hanya bisa berbicara secara negatif mengenai realitas ultim. Menurut Hick, Iman mengandung persepsi atau konsep yang berbeda dan tanggapan-tanggapan yang berbeda secara berkaitan dengan Kenyataan yang dari dalamnya model-model utama dari ada manusia dan bahwa melalui setiap bagian dari mereka, transformasi eksistensi manusia dari pemusatan pada diri sendiri menuju pemusatan pada Realitas mengambil tempatnya.
Menurut Hick, Kita bahkan tidak dapat berbicara mengenai apa yang numenal sebagai sesuatu atau sebagai sebuah entitas. Relasi antara yang numenal dan yang fenomenal, antara realitas yang transeden dan realitas gambaran-gambaran parsial kita akannya membuat mungkin pembicaraan mitologis kita tentang yang Real. Mitos yang dimaksudkan Hick adalah sebuah cerita atau pernyataan yang tidak secara literal benar tetapi yang cenderung untuk membangkitkan dan mengapropriasi sikap-sikap yang terbuka pada subjek yang utama. Kebenaran sebuah mitos adalah bersifat praktis: yakni sebuah kebenaran yang secara benar berhubungan dengan realitas yang tidak dapat dibahasakan dalam terminologi-terminologi yang non mitologis. Ini bukan berarti bahwa beragama, praktek dan kepercayaan memiliki nilai yang sama. Pendiri dan pembentuk agama semuanya menunjukan ketidapuasan dengan pernyataan-pernyaatan keagamaan yang mereka kenal.

4. Catatan Kritis
Haruslah diakui bahwa pemikiran teologis John Hick merupakan sumbangan yang sangat berharga dan relevan ketika dunia berhadapan dengan kenyataan di mana agama-agama yang seharusnya menjadi pelopor bagi perdamaian di dunia justru berseteru satu sama lain dan menjadi penyebab pertikaian di antara umat manusia. Memahami Tuhan atau realitas tertinggi sebagaimana digagas John Hick menjadi relevan dalam situasi seperti itu.
Memang, manusia hanya mampu berbicara tentang Tuhan dalam bahasa manusia, dan oleh sebab itu cara bahasa yang berbeda dan pengalaman subjektif manusia akan realitas tertinggi menyebabkan pengungkapannya pun menjadi berbeda. Dengan demikian, pemikiran John Hick menjadi masuk akal, bahawa manusia (agama-agama) hanya berusaha membahasakan pengalaman religiusnya akan yang tertinggi. Maka, perbedaan dalam agama-agama hanyalah perbedaan dalam cara membahasakan akan satu esensi yang sama. Dan sesungguhnya, kita (agama-agama) tidak pernah dapat membahasakan/ menjelaskan tentang yang tertinggi itu selain secara mitologis.
Namun, atas beberapa pandangan ini, kita dapat memberi beberapa catatan kritis. Pertama, pemikiran John Hick dapat menjerumuskan agama kepada relativisme. Para pemeluk agama dapat jatuh kepada kerumitan-kerumitan dalam menghayati agamanya. Jika Yesus adalah sama dengan Budha, atau Nabi Mohamad, maka kita kehilangan Yesus yang personal. Dengan demikian, paham mengenai keputraan dan Yesus sebagai satu-satunya jalan kebenaran adan kehidupan. Atau Yesus adalah satu-satunya pengantara antara dan manusia dengan sendirinya ditentang. Demikian halnya dengan Nabi Mihamad, Budha, dsb. Kedua, pemikiran John Hick menempatkan teologi menjadi mitologi. Jika kitab suci hanya sekedar cerita-cerita mitologi untuk membahasakan realitas tertinggi maka teologi yang seluruhnya diinspirasi oleh kitab suci adalah ilmu tentang mitos-mitos. Realitas tertinggi selalu termediasi di dalam pengalaman manusia. Kitab suci adalah salah satu mediasi realitas tertinggi itu di dalam sejarah manusia. Maka, kitab suci bukanlah buku yang berisi mitos-mitos tentang realitas tertinggi tetapi pengalaman-pengalaman manusia akan kehadiran yang tertinggi. Apa yang terdapat dalam Kitab Suci adalah bahasa pengalaman manusia akan yang tertinggi dan karena itu harus senantiasa dibaca dalam terang iman. Tugas teologi adalah bagaimana membuat bahasa-bahasa pengalaman akan kehadiran realitas tertinggi yang terdapat dalam Kitab Suci (yang terikat oleh konteks budaya dan zaman tertentu) dapat dipertanggunjawabkan secara akal sehat dan menjadi relevan untuk setiap zaman. Selain itu, tugas teologi adalah juga bagaimana di dalam terang kitab suci, pemeluk agama dapat memahami pengalamannya sendiri sebagai pengalaman di mana realitas tertnggi menghaditkan dirinya.

Komentar

Postingan Populer