I'm in France Now (Aku di Perancis)
Sudah hampir satu tahun aku di
Perancis. Waktu memang berlalu begitu cepat. Selain cepat, ia juga tidak
berhenti memberi kejutan. Aku mengalami banyak hal di sini dengan makna-maknanya yang tak
tergambarkan. Tinggal di
perancis tentu saja jauh dari mimpiku di masa lalu. Aku tidak pernah menentukan di mana
aku akan tinggal dan bekerja di masa depan. Sederhana saja, kulewati
hari-hariku dengan setia, dengan segudang tugas yang dipercayakan
kepadaku, lalu pada suatu saat di masa
lalu, konggregasi memutuskan untuk mengirimku ke Perancis. Dan terjadilah. Aku
di sini sekarang, di Perancis, tepatnya di sebuah kampung kecil bernama Calvaire,
terpaut 3-4 jam dari Paris.
Kulewati hari-hariku di sini
dengan tidak selalu mudah. Aku harus belajar bahasa Perancis yang sungguh amat tidak mudah. Ah, aku
sudah berada di sini, bisa berbahasa Perancis adalah sebuah keharusan.
Keterbatasan dalam hal berbahasa akan membuat kerjaku tidak maksimal. Walaupun
berat, aku harus melaluinya. Aku sendiri tidak pernah bisa menduga, entah
hingga kapan aku bisa berbahasa Perancis dengan baik dan lancar. Saat ini,
masih seperti anak kecil yang menggagap, dan tentu saja, sambil menggagap, aku
terus belajar berbicara lancar. Hingga entah kapan, aku pun tidak tahu, seperti
halnya ketidaktahuanku tentang hingga kapan aku akan tinggal di sini.
Aku masih muda, tahun ini usiaku 37 tahun, kesempatan untuk
belajar dan menikmati masa depan masih luas. Maka, kulalui hari-hariku di sini
dengan setia. Meski tidak selalu kulewati dengan mudah. Kadang gembira, kadang
sedih karena rindu tak terkira ke tanah air tercinta. Untunglah, kecanggihan
teknologi membuat Indonesia seperti tiada berjarak. Kapan saja kumau, maka
kuteleponlah mereka. Dan kubayangkan dalam sepersekian detik, suara dan wajahku
terbang hingga jauh ke Indonesia. Tuhan memang selalu punya acara untuk membuat
kita merasa tidak sendiri.
Bertemu dan bergaul dengan orang Perancis tidak selalu mudah.
Aku mendapat kesan, mereka terlihat serius. Jika bercanda, gaya percandaannya sungguh berbeda dengan gaya ketimuran kita. Aku
mungkin perlu waktu untuk menemukan pintunya. Ibarat berdiri, aku merasa belum
sungguh-sungguh berpijak kuat di sini. Tentu saja, bersama berjalannya waktu, ku
berharap bisa sungguh-sungguh mendaratkan kakiku di sini nantinya.
Sebagai seorang imam muda, geliat misionerku masih
berkobar-kobar. Namun, kuharus belajar bersabar. Kemampuan berbahasa Perancis
yang masih belum sungguh-sungguh maksimal memaksaku untuk berjalan pelan-pelan
saja dulu. Tentu saja, hal ini adalah sebuah tantangan tersendiri. Belum bisa
maksimal dalam melakukan tugas misi adalah tantangan berat untuk seorang missioner
muda sepertiku.
Namun, lambat laun aku sadar, dalam situasiku saat ini,
segala hal yang telah dan sedang kulakukan adalah upaya maksimalku dalam
menjalani tugas misi ini. Aku harus memandang pengalamanku saat ini secara
positif. Kurang lebih sepuluh bulan aku di Perancis, dan dalam sepuluh bulan aku
telah bisa berbicara tentang hal-hal sederhana dalam bahasa Perancis dan bahkan
aku telah memimpin ekaristi (plus kotbah). Bukankah ini sebuah kemajuan yang
mencengangkan. Belajar bahasa tentu saja sangat tidak mudah. Aku tidak hanya belajar tata bahasa atau
memperkuat vokabulariku dengan banyak membaca, tetapi menempatkan sebuah kata
dalam konteks yang tepat dalam sebuah kalimat itu bukan hal yang muda. Di sana,
kita bersentuhan dengan “rasa bahasa” dan mungkin juga kebudayaan. Belum lagi
ungkapan-ungkapan dengan makna-maknanya yang khusus.
Tapi, tentu saja ada yang lebih penting dari sekedar
berkata-kata dalam bahasa asing. Seluruh keberdaaan kita adalah bahasa yang
sesungguhnya. Seluruh tubuhku adalah saranaku untuk berkomunikasi. Maka,
kumanfaatkan semuanya. Dan di sana aku sadar, jika kita sudah sampai pada
komunikasi yang melampaui bahasa ‘Kata’
maka kita sudah tiba pada persaudaraan atau pertemanan yang sesungguhnya. Di
sana aku seperti merasakan ada hubungan tak terkatakan terjalin begitu saja,
yang membuat saling mengerti. Begitulah manusia dan makhluk hidup seluruhnya. Kita diikat oleh tali temali bawa sadar. Kita
berpotensi untuk terhubung begitu saja asalkan ada pemicunya. Pemicunya banyak sekali ; mata yang saling
memandang, mulut yang saling menyapa, telinga yang saling mendegar, senyuman
yang membawa kebahagian, dll. Inilah yang membuat hidup menjadi sangat indah
kurasakan di mana saja bumi kupijak.
Hidup sesungguhnya indah, meski tidak selalu mudah. Dan
semoga aku tetap mampu menemukan keindahan
di setiap waktu yang dianugerahkan kepadaku.
bersambung....
Komentar