Renungan Minggu Biasa XXI 23 Agustus 2015
Bapa/ibu saudara/i ytk....
Di dalam hidup, kepada
kita selalu dihadapkan pada aneka macam pilihan-pilihan. Bahkan setiap hari. Ada
pilihan yang sifatnya remeh temeh (memilih pake baju warna apa hari ini) namun
ada juga pilihan yang sifatnya sangat mendasar dalam hidup (memilih menjadi
katolik dibabtis, jadi imam, jadi suami atau isteri. dll) Sebagaimana manusia
yang bebas, kita pun bebas memilih salah satu atau salah duanya. Yang paling
penting adalah bahwa melalui pilihan-pilihan tersebut kita bisa berusaha menunjukkan
hidup yang baik atau sebagai orang beriman, melalui keputusan-keputusan
tersebut kita tetap digerakkan oleh Roh yang sama, yakni Roh Kristus sendiri,
sehingga kita selalu benar dan berkenan di hadapan Allah.
Soalnya adalah banyak
sekali orang yang kurang menyadari atau bahkan tidak tahu tentang bobot atau kualitas
pilihannya. Bahkan kadang-kadang, kita tidak tahu apa yang harus kita pilih,
lalu ketika mengalami kerugian/kecelakaan atau keuntungan karena pilihan
tersebut kita baru sadar akan pilihan kita. (mabuk, bawa motor, ngebut, nabrak
orang, mati)
Saudara/i ytk..
Injil hari ini
menantang kita untuk mengadakan pilihan yang amat menentukan hidup kita. Memilih
beriman kepada Allah atau tidak. Yosua di dalam bacaan pertama memberi kebebasan
kepada orang Israel untuk memilih. “ Jika kamu menganggap tidak baik untuk
beribadat kepada Tuhan, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadat.
Kepada Dewa-dewa atau kepada Allah? Dan orang Israel, di dalam kebebasannya
memilih untuk beribadah kepada Allah.
Demikian pun dalam
bacaan Injil, kepada orang-orang pilihannya, ke duabelas rasul, Yesus bahkan
menantang mereka ketika banyak orang mengundurkan diri karena pengajaran Yesus,
Apakah kamu tidak mau pergi juga? Dan Petrus menjawab Tuhan, kepada siapa kami
akan pergi . Sabda-Mu adalah sabda hidup kekal.
Pertanyaan yang sama
kepada orang Israel dan para rasul juga ditanyakan kepada kita. Dan kita, tentu
saja telah seperti orang Israel dan para rasul yang telah memilih Allah untuk dimani.
Namun, apakah kita sadar akan bobot, nilai atau kualitas yang terkandung di
dalam pilihan tersebut. Atau malah tidak tahu atau juga malas tau. Jika tidak,
orang tidak terlalu merasa penting untuk bertanggung jawab atau siap menerima
resiko atas pilihannya.
Memilih untuk beriman
kepada Kristus tentu juga memiliki resiko yang harus dipikul. Santo Paulus
melukiskan hubungan umat Allah dengan Kristus seperti hubungan suami isteri.
Gereja (umat Allah) adalah isteri dan Kristus adalah suaminya yang menuntut
kasih dan kesetiaan di dalamnya. Allah yang mengasihi manusia dan manusia yang
setia kepada Allah. Para rasul pun mengalami resiko-resiko tersebut yang
menuntut kesetiaan mereka.
Dalam cara berpikir
para rasul, tidak mudah memang untuk memahami pengajaran Yesus. Di tengah
keinginan kuat mereka untuk bebas dari kuasa Romawi, munculah Yesus dengan
macam-macam kemampuan yang dimilikinya. Mereka pun berharap Yesus bisa menjadi
pemimpin politik yang bisa membebaskan mereka dari bangsa Romawi. Tetapi ternyata
tidak. Yesus malah mewartakan tentang pengampunan, ampunilah tujuh puluh kali
tujuh kali, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, jika seseorang menampar
pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu, bahkan yang paling terkahir ini, dia
mewartakan dirinya sebagai roti yang harus dimakan, dan roti itu adalah
dagingnya, dan darahnya untuk diminum. Dia mengajarkan juga bahwa dia akan mati. Dan
bahkan mati disalib dan sebagai Tuhan Ia sebetulnya dapat membabaskan diri
dengan sangat mudah. Kita pun tahu, bahwa hampir semua murid lari ketika Yesus
ditangkap, Petrus bahkan menangkap Yesus, Yudas malah berkhianat dan menjual
Yesus. Banyak yang mengatakan bahwa mengikuti Yesus adalah kebodohan. Ada yang
menyebutnya orang gila dari Nazareth.
Dan kita memutuskan
untuk mengikuti orang ini, beriman kepada Nya dan mau menjalani ajarannya. Maka,
mau tidak mau kita harus punya alasan pribadi kenapa kita terus bertahan
mengikuti Dia. Inilah yang disebut menyadari bobot pilihan kita, mengetahui
kualitas pilihan. Dan hal ini merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup
beriman. Karena pada akhirnya, beriman itu menyangkut relasi pribadi. Banyak
orang hari ini datang ke Gereja, kalau ditanya mengapa? Jawabannya tentu
berbeda. Semua orang membawa persoalannya masing-masing. Mungkin ada yang
datang saja sebagai rutinitas, supaya dilihat saleh, mungkin ada yang ikut
teman atau pacarnya, mungkin ada karena disuruh guru agamanya di sekolah, lalu
setelah misa minta tandatangan pastornya, atau bisa jadi karena orang memang
sungguh beriman.
Pertanyaan
sederhananya, apakah menjadi katolik, beriman kepada Kristus itu penting untuk
hidupku? Bermanfaat untuk hidupku? Jika tidak menemukan jawabannya, pertanyaan
Yesus bisa disampaikan kembali kepada kita, “apakah Engkau tidak mau pergi
juga?” Jika tidak menemukan jawabannya, kita
akan sulit untuk bertanggung jawab dan siap menerima resiko apapun dalam hidup
beriman. Semoga saja kita telah menemukan jawabannya masing-masing, dan marilah
kita membuktikannya di dalam kehidupan kita yang konkret. Agar kakatolikan itu
menjadi berarti tidak hanya bagi kita
sendiri tetapi bagi orang-orang di sekitar kita.
Amin...
Komentar