Untuk Apa Kami Memilki Cita-Cita Besar Untuk Masa Depan Jika Kami Tidak Bisa Tertawa Hari Ini…..

Jalan ini masih akan sangat panjang. Masa depan yang tidak pernah jelas menjadi seperti tangan-tangan yang siap mencengkeram. Dan kami dapat saja segera mati di suatu tempat dan masa, jauh sebelum cita-cita kami terwujud, dan jauh sebelum kami bangun dan mewujudkan mimpi-mimpi kami. Yah, Meski kami memiliki cita-cita besar, meski kami memiliki mimpi-mimpi hebat, masa depan tidak pernah sejelas mimpi atau cita-cita kami. Ia selalu dan akan selalu menjadi posibilitas tak terhingga dari keragaman kemungkinan. Ia adalah lautan yang terlampau luas dan langit yang terlampau jauh. Kami seperti noktah kecil, punya tujuan sekaligus siap pendar dihempas angin dan gelombang nun jauh. Setiap kali tiba pada kesadaran ini, kami menjadi semakin yakin, hidup memang seluruhnya adalah misteri dan masa depan seperti menulis sendiri sejarahnya yang kadang-kadang saja sejalan dengan cita-cita hebat kami atau masa lalu yang selalu tidak pasti kecuali kami bersusah payah memberinya makna. Lalu masa kini adalah entah apa. Kami menjalaninya kadang-kadang dengan ringkih, karena waktu tidak pernah memberinya matahari yang membuat kami terang melihat. Tidak hanya kami, banyak orang pun akhirnya kadang-kadang mengeluh telah terlahir. Sebab kelahiran sebetulnya adalah pengalaman pertama tentang ketidakbebasan. Tidak pernah kami dimintai memilih, menjadi laki-laki atau perempuan, atau menentukan dari ibu mana kami dikandung dan dilahirkan. Atau paling kurang ditanya, apakah mau terlahir dan menjadi manusia. Lalu, setelah menjadi manusia kami dikurung dengan cita-cita dan mimpi-mimpi dan berjuang keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu lalu tanpa kompromi hidup kami tiba-tiba diakhiri secara sederhana bahkan sebelum kami bangun dan berlari mengerjakan masa depan kami. Padahal mimpi-mimpi itu pun tidak kami susun sendiri. Selalu juga dipengaruhi lingkungan social kami dan mimpi-mimpi orang-orang di sekitar kami. Dan kami bingung sendiri, inikah tujuan dan jalan hidup kami yang sesungguhnya? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan seumur hidup yang pun tidak terjawab tuntas sampai akhir. Untuk apa kami memiliki cita-cita besar, jika kami tidak bisa tertawa hari ini? Untuk apa kami bertanya tentang kesungguhan jalan hidup yang sedang kami tempuh, kalau itu hanya akan menyesakkan dada dan membuat malam-malam yang kami lewati dipenuhi mimpi-mimpi buruk? Hidup itu sebetulnya seperti seorang anak dan sebuah sungai; pergi sajalah ke sungai lalu terjun dan berenanglah dengan gembira sampai lelah. Lalu beristirahatlah. Besok, jika masih ingin dan masih hidup datanglah lagi dan berenanglah lagi dengan gembira. Jika kakimu tak mungkin lagi membantumu untuk berenang, memancing sajalah juga dengan gembira, begitu seterusnya hingga mati, karena hanya di air kita bisa belajar dan mahir berenang dan menyelam atau memancing. Dengan itu, menjadi pahamlah kita bagaimana menjadikan apa yang telah terberi ini dijalani di dalam kebebasan hingga kita menjadi mahir dan sungguh-sungguh mahir. Dan bersyukurlah, karena kita tidak pernah menjadi sangat yakin dengan diri kita sendiri untuk menjamin bahwa kita masih bisa bangun besok, kecuali kita percaya bahwa Ada yang menganugerahkannya kepada kita dan membuat kita berani berharap. Dialah dasar dan sumber mengapa kita masih bisa hidup. Dan di dalam sejarah, ada sesorang yang mengerti dengan baik kegundahan manusia sepanjang hidupnya, dan mengajar kita untuk belajar dari kembang bakung yang tidak menenun, namun keindahan bunga itu jauh melampaui kemegahan salomo. Dia menjawab kegundahan hati manusia dengan telak dan tuntas “Akulah jalan, kebenaran dan HIDUP”. Tertawalah sekarang jika sudah percaya dan mengimani-Nya, lalu hiduplah dengan gembira….

Komentar

Postingan Populer